Wednesday 8 February 2012

BERDOA LAH...

foto google
Doa merupakan senjata bagi kaum mukminin. Hati kaum mukminin selalu bergantung kepada Allah Yang Maha Rahman dan Maha Rahim. Sehingga mereka memiliki hubungan yang sangat dekat dengan-Nya.

Namun demikian, tidak jarang dalam kehidupan keseharian, kita dihadapkan pada suatu ujian dan musibah yang membawa kita pada kesedihan. Fikiran buntu, tak tahu arah mau kemana. Seolah-olah semua manusia menjahui kita. Hati terasa hancur dan pilu, hampir-hampir dihadapkan pada keputus-asaan. Saat itulah, sebenarnya, Allah Yang Maha Rahman dan Maha Rahim sangat dengan dekat dengan kita.

Bukankah kita pernah mendengar ketika nabi Musa (as) bertanya kepada Allah swt: “Dimanakan aku harus mencari-Mu?” Allah s.w.t menjawab: “Carilah aku di antara orang-orang yang hancur hatinya.”

Allah swt berfirman:
Ketika manusia ditimpa bahaya dia berdoa kepada Kami dalam keadaan berbaring, duduk dan berdiri, tetapi setelah Kami hilangkan bahaya itu darinya, dia kembali ke jalannya yang semula seolah-olah dia tidak pernah berdoa kepada Kami untuk menghilangkan bahayanya.”
(Yunus/10: 12).

“Ketika manusia ditimpa bahaya, mereka berdoa kepada Tuhannya dengan kembali bertaubat kepada-Nya, kemudian ketika Tuhannya merasakan kepada mereka barang sedikit rahmat dari-Nya, tiba-tiba sebagian mereka mempersekutukan Tuhannya.” (Ar-Rum/30: 33).

“Ketika manusia ditimpa bahaya di lautan, niscaya hilanglah siapa yang kamu seru kecuali Dia, tetapi ketika Dia menyelamatkan kamu ke daratan, kamu berpaling. Dan manusia adalah selalu tidak berterima kasih.” 
 (Al-Isra’: 17).

Masih banyak lagi ayat-ayat Al-Qur’an yang semakna dengannya. Semuanya menunjukkan bahwa kehadiran manusia ke hadapan Allah s.w.t ketika hatinya hancur dan berduka merupakan fitrah manusia yang paling dalam dan watak kesejatian manusia.

Dikisahkan ada seorang bertanya kepada Imam Ja’far Ash-Shadiq (sa): Wahai putera Rasulullah, tunjukkan padaku cara berhubungan dengan Allah s.w.t? Kerana tentangnya banyak orang yang mendebat dan
membingungkan aku. Beliau berkata: “Apakah kamu punya rasa khuatir ketika tidak ada bahtera yang dapat menyelamatkan kamu sementara kamu tidak bisa berenang?” Ia menjawab: ya. Kemudian beliau
bertanya: “Apakah dalam hatimu ada rasa ketergantungan pada Yang Maha Kuasa untuk menyelamatkan kamu dari kekhuatiranmu? ” Ia menjawab: ya. Beliau berkata: “Yang Maha Kuasa itulah adalah Allah
Yang Menyelamatkan kamu ketika tidak ada lagi penyelamat, yang melindungi kamu ketika tidak ada lagi perlindungan. ” (Biharul Anwar 3: 41)

Dalam kisah itu Imam Ja’far Ash-Shadiq (sa) menunjukkan padanya cara mengenal Allah swt melalui hati. Beliau menunjukkan jalan yang menghubungkan antara hati dengan Pencipta Yang Maha Kuasa,
pengenalan dan pandangan yang sejati ketika tidak ada sebab-sebab lahir yang dapat menyelamatkannya dan memberi pertolongan kepadanya. Inilah kekuasaan yang sejati yang dikenal oleh fitrah manusia.
Sekiranya kekuasaan ini tidak ada, niscaya fitrah manusia tidak didalam hati.

Sesungguhnya memusatkan perhatian kepada Allah swt ketika berduka dan menderita, dan merendahkan diri melalui doa merupakan perbuatan yang tidak bisa dilakukan oleh panca indera. Hal ini dapat kami umpamakan dengan persoalan naluri (gharizah) yang sifatnya umum. Yaitu keinginan seorang bayi pada payu dara ibunya. Naluri ini ada bersamaan ia lahir ke dunia. Ketika ia lapar bergeraklah nalurinya lalu naluri itu membimbingnya mencari susu ibunya yang sebenarnya ia belum pernah melihat dan mengenalnya.Sekiranya payu dara ibunya dan air susu itu tidak ada, tentu naluri bayi tidak akan membimbingnya untuk mencarinya. Demikian juga fitrah dalam diri manusia, sekiranya tidak ada kekuasaan Yang Maha Kuasa, tentu fitrah
itu tidak akan pernah membimbing manusia untuk mencari kekuasaan Yang Maha Kuasa.

Hal-hal yang sifatnya fitri dalam diri manusia telah banyak tertutupi oleh hijab-hijab dosa dan kehinaan, sehingga ia tidak dapat mendengar suara fitrahnya, dan manusia memandang dirinya punya kemampuan. Lalu menzalimi dirinya dan menjauh dari Penciptanya, bergantung penuh pada sebab-sebab lahiriyah. Allah swt berfirman:
“Ketahuilah! Sesungguhnya manusia benar melampaui batas, karena memandang dirinya merasa cukup.” (Al-`Alaq/96: 6-7).

“Setelah Kami hilangkan bahaya itu darinya, ia kembali (ke jalannya yang semua) seolah-olah ia tidak pernah berdoa kepada Kami untuk menghilangkan bahaya yang menimpanya.” (Yunus/10: 12).

Setelah Kami selamatkan kamu sampai ke daratan, kamu berpaling.” (Al-Isra’/17: 67).
Jika manusia hanya berdoa dalam keadaan duka dan menderita, ini menunjukkan bahwa ia belum memiliki kesempurnaan insani dan ketulusan beribadah, bahkan hatinya masih keras dan membeku, dijauhkan dari curahan rahmat dan maghfirah Allah swt.

No comments:

Post a Comment